Kamis, 19 Januari 2017

Contoh Makalah sumber norma dan hukum islam stkip-m sungai penuh

BAB II
SUMBER NORMA DAN HUKUM ISLAM

1.     KITAB SUCI AL-QUR’AN
a.      Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah nama yang khas yang sengaja diberi kan oleh Allah kepada kitab sucinya. Al-Qur’an menurut bahasa  mempunyai arti yang bermacam-macam. Salah satunya ,menurut pendapat yang lebih kuat, Al-Qur’an berarti bacaan atau yang di baca.

b.      Kandungan Al-Qur’an
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6236 ayat, 74437 kalimat, dan 325345 huruf.
Apa yang di kandung di dalam al-Qur’an , diterangkan sendiri oleh al-Qur’an melalui salah satu ayatnya :
“ Dan tidaklah ada satu pun dari binatang di bumi dan tidak (pula) satupun yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan adalah mereka itu umat-umat seperti kamu. Tidak ada yang kami luputkan di dalam Al-kitab sesuatu pun. Kemudian pada tuhan merekalah mereka akan dikumpulkan”( AL-An’am 38).

c.       Fungsi Al-Qur’an
1.      Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang bertakwa,bahwa petunjuk bagi manusi secara keseluruhan, yakni petunjuk jalan lurus, petunjuk kebeneran yang mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang.
2.      Al-Qur’an adalah pembeda atau pemisah antara yang haq dan yang bathil atau antara yang benar dan yang salah
3.      Al-Qur’an berfungsi peringatan bagi orang-orang yang bertakwa.
4.      Al-Qur’an adalah obat atau penawar bagi penyakit kejiwaan.
5.      Al-Qur’an merupakan pengajaran/nasehat (mau’idhah) bagi manusia.
6.      Al-Qur’an korektor bagi kitab-kitab suci yang turun sebelumnya atau korektor bagi penyelewengan yang dilakukan oleh manusia dalam agama mereka. Maka celaka besarlah orang- orang yang menulis al-kitab dengan tangannya sendiri.
7.      Al-Qur’an merupakan bahan renungan atau pemikiran bagi orang-orang yang mau berfikir untuk memdapat pelajaran yang berharga.
8.       Al-Qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan yang sangat menarik untuk dikaji dan dipelajari sepanjang masa.
9.      Al-Qur’an juga mukjizat nabi Muhammad SAW, yaitu mukjizat yang paling besar dari sekalian mukjizat lain yang pernah ada.


d.      Keaslian Al-Qur’an
Pertama, karena Al-Qur’an mempunyai sejarah penulisan yang gemilang.
Kedua, selain Al-Qur’an ditulis juga dihafalkan, baik oleh nabi muhammad maupun oleh sahabat dan umat islam pada umumnya.
Ketiga, Al-Qur’an tidak kehilangan bahasa aslinya yaitu basa arab, dan tetap terjaga dengan baik dalam bahasa aslinya itu sampai sekarang.


2.     KEWAHYUAN AL-QUR’AN
       Wahyu adalah dasar terpenting dalam agama. Dan percaya kepada adanya wahyu merupakan modal utama bagi seseorang dalam beragama. Wahyu menurut bahasa berarti bisikan halus yang dibisikkan ke dalam telinga, sehingga yang dibisiki itu faham apa yang dimaksud oleh yang membisikkannya.
Ada dua bukti sangat penting yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu wahyu dari Allah :
Pertama, Al-Qur’an itu sendiri yang merupakan mukjizat Nabi Muhammad, yang baik kehebatan isi maupun keindahan bahasanya tidak dapat di tiru oleh siapapun.
Kedua, informasi dari Allah sendiri yang menerangkan kenyataan tidak adanya saling pertentangan dalam Al-Qur’an antara ayat satu dengan ayat yang lain, yang hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang berasal dari Allah SWT.


3.     MUKJIZAT AL-QUR’AN
      Menurut bahasa arti mukjizat ialah sesuatu yang luar biasa yang tida kuasa manusia menbuatnya karena hal itu di luar kesanggupannya. Bahkan mukjizat Al-Qur’an adalah mukjizat yang terbesar dari sekalian mukjizat yang pernah ada dan dimiliki oleh Nabi atau rasul yang mana pun. Pada dasarnya kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada dua segi, yaitu segi isi atau kandungan Al-Qur’an dan segi bahasa Al-Qur’an.

a.      Kemukjizatan isi Al-Qur’an
Pertama, telah sempurnanya isi yang di kandung oleh Al-Qur’an , karena Al-Qur’an juga membawakan pokok-pokok ajaran kitab-kitab suci lama yaitu taurat, zabur, dan injil dan kesempurnaan Al-Qur’an ini telah dinyatakan sendiri oleh Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3.
Kedua, Al-Qur’an dengan isi yang sempurna itu bersifat universal dan cocok untuk tiap ruang dan waktu karena hukum-hukum dalam Al-Qur’an dibawakan dalam garis-garis besarnya saja (Qaidah-qaidah kulliyah)  yang berdasarkan dua prinsip untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia (jalbul-Mashalih) dan untuk menolakkerusakan (Dar-ul Mafasid).
Ketiga, selain isi Al-Qur’an bersifat universal dan sesuai untuk tiap ruang dan waktu, isi Al-Qur’an merupakan petunjuk (hidayah) bagi manusia dalam kehidupannya menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Keempat, di antara isi Al-Qur’an ada yang berupa ramalan-ramalan tentang peristiwa-peristiwa yang belum terjadi, tetapi kemudian betul terjadi dalam sejarah sebagai yang diramalkan.

b.      Kemukjizatan Bahasa Al-Qur’ar
Pertama, mukjizat Al-Qur’an merupakan kesatuan dengan keutusan Nabi Muhammad, bahkan merupakan hakekat dan intisari dari kerasulan beliau.
Kedua, mukjizat Al-Qur’a bersifat maknawiyah, rasional dan ilmiah sehingga cocok dengan martabat manusia yang merupakan makhluk istimewa karena dimilikinya akal.
Ketiga, mukjizat Al-Qur’an membawa pengaruh maha dahsyat, jauh lebih dahsyat dari pada pengaruh-pengaruh semua mukjizat yang lain.
Keempat, mukjizat Al-Qur’an kekal abadi, tidak lenyap dengan meninggal atau ketiadaannya Nabi Muhammad SAW, sedang mukjizat yang lain tidak kekal abadi dan lenyap dengan meninggalnya nabi yang bersangkutan.


4.      HADIS/SUNNAH RASULULLAH SAW
a.      Pengertian hadis/sunnah
Hadis menurut basanya :
-jadid (baru), lawan qadim (dahulu)
-qarib atau dekat, belum lama terjadi
- kabar atau berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang yang lain (Ma yutahaddasu bihi wa yunqalu).

Sunnah menurut bahasa :
-jalan yang terpuji
-jalan atau cara yang dibiasakan
-kebalikan dari bid’ah
-apa yang diperbuat oleh sahabat, baik ada dasarnya dalam Qur’an atau hadis atau pun tidak.

Sunnah menurut arti istilah, sebagaimana yang dirumuskan oleh ulama ahli hadis ialah segala yang di pindahkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan,perbuatan,maupun taqrir,pengajaran,sifat, kelakuan dan perjalanan hidup, dan baik yang demikian itu terjadi sebelum masa kenabian atau pun sesudahnya. Sunnah dalam pengertian yang demikian inilah, menurut jumhur ulama ahli Hadis yang merupakan muradif dari Hadis.

b.      Kedudukan Hadis/sunnah
Hadis/sunnah Nabi Muhammad menempati kedudukan nomor dua sebagai sumber norma dan hukum islam, sesudah AL-Qur’an.

c.       Fungsi Hadis/Sunnah terhadap Al-Qur’an
Fungsi hadis/sunnah terhadap Al-Qur’an ialah Lil-Bayan atau untuk memberi penjelasan. Menurut pendapat Asy-Syafi’i, ada lima macam bayan atau penjelasan yang diberikan oleh Hadis/Sunnah kepada Al-Qur’an yaitu :
o   Bayan Tafshil, penjelasan untuk menjelaskan ayat-ayat mujmal atau ayat-ayat yang sangat ringkas petunjuknya.
o   Bayan takhshish, penjelasan untuk menentukan sesuatu dari ayat yang sangat umu sifatnya.
o   Bayan Ta’yin, penjelasan untuk menentukan mana sesungguhnya yang di maksud dari dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
o   Bayan Tasyri, penjelasan yang bersifat menetapkan suatu hukum yangtidak terdapat dalam Al-Qur’an (misalnya hukum haramnya keledai kampung).
o   Bayan nasakh, penjelasan untuk menentukan mana yang mengganti dan mana yang diganti dari ayat-ayat yang kelihatan seperti berlawanan.

5.     SEJARAH PEMBUKUAN HADIS
Penulisan/pembukuan Hadis-hadis baru terjadi mulai awal abad kedua hijriah, yaitu pada masa khalifah umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah ke VIII dari dinasti Mu’awiyah, yang berkuasa tahun 99-101 H atau 717-720 M. Beliau memprakarsai membukukan Hadi-hadis Nabi, antara lain dengan alasan :
a.      Proses penulisan Al-Qur’an sudah lama selesai, sehingga tidak perlu dikhawatirkan lagi terjadinya campur aduk antara Hadis dan ayat-ayat Al-Qur’an.
b.      Adanya kekhawatiran akan lenyapnya Hadis-hadis Nabi dari kalangan umat islam, berhubung para perawi Hadis yang menyimpan Hadis-hadis dalam ingatannya, makin banyak yang meninggal dunia.


6.     MACAM-MACAM HADIS/SUNNAH
a.      Dilihat  dari segi bentuk :
·         Qauliyah, yaitu hadis yang berbentuk/berupa perkataan Nabi
·         Fi’liyah, Hadis perbuatan Nabi
·         Taqririyah, Hadis yang berupa perbuatan sahabat yang disaksikan atau didengar oleh Nabi dan Nabi tidak menegur atau menyalahkannya.

b.      Dilihat dari segi jumlah orang yang menyampaikan atau meriwayatkannya :
·         Mutawatir, Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak terhitung jumlahnya yang karena banyaknya ini, menurut akal, tidak mungkin mereka bersepakat untuk dusta.
·         Masyhur, Hadis yang perawi lapis pertamanya beberapa orang sahabat atau lapis keduanya beberapa orang tabi’in. Sesudah itu tersebar luas dinukilkan  orang banyak yang tak dapat disangka mereka sepakat untuk dusta.
·         Ahad, hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih, tetepi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke tingkat Masyhur.

c.       Dilihat dari segi  kualitasnya Hadis :
·         Shahih, Hadis yang bersambung-sambung sanad, diriwayatkan oleh orang yang adil dan kuat ingatan, tidak terdapat padanya keganjilan (syadz) dan cacat (illah).
·         Hasan, Hadis yang memenuhi persyaratan Hadis syahih kecuali segi hafalan (ingatan) parawinya yang kurang baik.
·         Dha’if, hadis yang tidak didapati padanya syarat shahih dan tidak pula ddidapati padanya syarat hasan.
·         Maudlu’, Hadis palsu yaitu Hadis yang di buat-buat oleh seseorang dan dikatakan sebagai sabda atau perbuatan Nabi.

d.      Dilihat dari segi diterima atau tidaknya :
·         Maqbul, hadis yang diterima dan dapat dijadikan hujjah/alasan dalam agama.
·         Mardut, hadis yang ditolak dan tidak boleh dijadikan alasan dalam agama.

e.      Dilihat dari segi siapa yang berperan dalam berbuat atau bersabda dalam hadis :
·         Marfu’, jika hadis itu benar-benar merupakan perbuatan, sabda atau taqrir Nabi.
·         Mauquf, jika hadis itu hanya merupakan perbuatan atau kata-kata sahabat dan nabi tidak menyaksikan atau medengarkannya.
·         Maqthu’, jika hadis itu hanya merupakan perbuatan atau kata-kata tabi’in.


7.     IJTIHAD
a.      Pengertian ijtihad
Dari segi bahasa arti ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Mengerjakan apa saja asalkan dilakukan dengan kesungguhan, adalah berijtihad namanya.

b.      Pembagian Ijtihad
·         Ijtihad Fardi atau ijtihad individal, yaitu ijtihat yang dilakukan oleh seorang mujtahid saja.
·         Ijtihad Jama’i atau ijtihad kolektif, ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok mujtahidin secara bersama.
·         Ototransplantasi yang donor dan resipiennya satu individu hukumnya mubah (boleh).
·         Homo transplantasi  baik levingdonor maupun cadaver donor karena darurat menurut medis hukumnya mubah.
·         Semua pencakokan yang membahayakan baik rohaniah maupun jasmaniah seperti pencakokan kepala dan jantung hukumnya haram.

c.       Kedudukan ijtihad
Disamping Al-Qur’an dan hadis/sunnah Nabi, ijtihad juga merupakan dasar atau sumber norma dan hukum islam, yakni dasar atau sumber ketiga. Dengan kedudukannya seperti itu, dapat dikatan bahwa ijtihad adalah dasar atau sumber tambahan sesudah Al-Qur’an dan hadis/sunnah Nabi.


8.     LAPANGAN IJTIHAD
Ijtihad mempunyai lapangan tertentu. Di luar lapangan tertentu ini, ijtihad tidak boleh dilakukan. Pada dasarnya, manakah yang menjadi lapangan ijtihad, sudah ditunjukkan oleh pembagian ijtihad seperti yang di kemukakan oleh Syekh Mahmud Syaltout.
Pertama, yang menjadi lapangan ijtihad ialah perkara-perkara yang tidak ada atau  tidak jelas ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an atau Hadis Nabi.
Kedua, yang merupakn lapangan ijtihad pula ialah ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis-hadis nabi yang sebegitu jauh tidak begitu jelasmaksudnya. Dan ketidak jelasannya mungkin disebabkan oleh makna yang dikandung lebih dari satu sehingga perlu ditentukan (dengan jalan ijtihad) manakah diantara makna ayat atau hadis yang bersangkutan.


9.     PERANAN IJTIHAD
Menurut dialog Rasulullah dengan Mu’adz bin Jabal seperti telah di sebutkan dimuka, diakui bahwa akal denan kegiatan ijtihadnya, menjadi sumber norma dan hukum Islam nomor tiga sesudah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Yakni sebagai sumber pelengkap atau tambahan. Mengapa perlu sumber tambahan, padahal telah di firmankan oleh Allah SWT dalam surat Al-maidah ayat 3, bahwa islam telah lengkap dan sempurna ? Betul, islam telah sempurna, tetapi kesempurnaan islam tidak terlepas dari peran sertanya akal dalam bentuk kegiatan yang bernama ijtihad itu. Dengan kata lain, akal dengan ijtihadnya sebenarnya termasuk unsur dalam islam itu sendiri, sehingga kesempurrnaan islam tidak mungkin terpisah kan dari peran sertanya ijtihad.


10.                         SYARAT-SYARAT IJTIHAD
a.      Syarat-syarat umum :
·         Islam
·         Dewasa
·         Berakal sehat
·         Kuat daya tangkap dan ingatannya (IQ nya tinggi)

b.      Syarat-syarat pokok :
·         Menguasai Al-Qur’an dan ilmu-ilmu Al-Qur’an, terutama ayat-ayat hukumnya,asbabun-nuzulnya dan nasikh-mansukhnya.
·         Mengusai hadis dan ilmu-ilmu hadis .
·         Menguasai bahasa arab dan ilmu-ilmu bahasa arab seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan sebainya.
·         Menguasai ilmu Ushul Fiqh.
·         Memahami tujuan-tujuan pokok Syari’at islam.
·         Memahami Qawaid Kulliyah atau Qawaidul-Fiqhiyah.

c.       Syarat-syarat pelengkap :
·         Mengetahui tidak adanya dalil yang qath’i tentang kasus yang dihadapi.
·         Mengetahui masalah-masalah yang tercapai konsensus, masalah-masalah yang masih khilafiah dan masalah-masalah yang belum ada kepastian hukumnya.
·         Saleh dan takwa.


11.                         BENTUK-BENTUK IJTIHAD
a.      Ijmak
Ijmak menurut bahasa berarti menghimpun, mengumpulkan atau bersatu dalam pendapat. Ijmak ada dua macam :
1.      Ijmak Sharih, yaitu ijmak para ulama mujtahidin yang dinyatakan secara terang atau jelas, baik dengan perkataan, tulisan atau pun perbuatan (Sharih =  jelas, terang). Contoh ijmak Sharih, ialah kesepakatan para sahabat Nabi dalam pengangkatan Khalifah Abu Bakar.
2.      Ijmak Sukuti, yaitu ijmak atau kesepakatan pendapat di antara para ulama mujtahidin secara diam. Diam disini dianggap menyetujui (Sukuti = diam). Hal ini terjadi, jika sebagian ulama mujtahidin mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah, kemudian para ulama mujtahidin yang lain diam tidak memberikan tanggapan apa-apa.

b.      Qiyas
Menurut bahasa, arti Qiyas ialah mengukur sesuatu menurut contoh yang lain, kemudian menyamakannya. Dan menurut istilah yang disebut Qiyas ialah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi dengan jalan menyamakannya dengan masalah lain yang ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, karena ada sebab yang menyamakan antara keduanya. Qiyas ada bermacam-macam yaitu :
1.      Qiyas Musawi, yaitu qiyas yang niatnya mengharuskan adanya hukum, dan keadaan cabang sama dengan asal untuk mendapatkan hukum.
2.      Qiyas Aula, yaitu qiyas yang niatnya mengharuskan adanya hukum dan keadaan cabang lebih utama mendapatkan hukum tersebut dari pada asal.
3.      Qiyas Dalalah, yaitu qiyas yang niatnya menunjukkan adanya hukum, tetapi tidak mewajibkannya.
4.      Qiyas Syibih, yaitu qiyas yang cabangnya dapat disamakan/diserupakan kepada dua asal, tetapi kemudian hanya disamakan/diserupakan kepada asal yang lebih banyak persamaannya dengan cabang.
5.      Qiyas Adwan, yaitu qiyas yang cabangnya lebih rendah mendapatkan hukum daripada asalnya.

c.       Istihsan
Menurut bahasa, arti istihsan ialah menganggap baik suatu hal. Menurut istilah,arti istihsan ( sebagaimana dirumuskan dalam suatu defenisi ) ialah menjalankan keputusan yang tidak didasarkan atas Qiyas, tetapi didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan.

d.      Mashlahah Mursalah
Mashlahah Mursalah atau disebut juga Istishlah ialah kebaikan yang tidak disinggung-singgung oleh Syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, tetapi jika dikerjakan akan membawa manfaat atau terhindar dari keburukan. Contoh-contoh Mashlahah Mursalah :
1.      Pengumpulan/penulisan Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar.
2.      Ketika islam masuk irak, tanah-tanah pertanian negeri tersebut dibiarkan tetap berada di tangan pemiliknya dengan dikenakan kewajiban membayar pajak, karena untuk menjaga kebaikan umat islam.
3.      Disyaratkannya keharusan adanya surat kawin unuk sahnya gugatan dalam soal perkawinan, nafkah dan warisan.
4.      Dijadikannya Maulid Nabi Muhammad, Israk Mikraj, Nuzulul Qur’an dan 1 Muharam sebagai hari-hari besar Islam disamping hari besar Islam yang resmi Idul Fithri dan Idil Qurban.
5.      Mengadakan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan untuk orang-orang terhukum.
6.      Mencetak uang sebai alat tukar-menukar.

e.      Istish-hab
Istish-hab dari segi bahasa, diambil dari perkataan  “Istishhabtu ma kaana fil-maadhi” yang artinya, “Saya membawa serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang”. Menurut istilah ulama Ushul Fiqh, Istish-hab ialah menjadikan hukum yang telah tetap pada masa lampau terus berlaku sampai sekarang karena tidak diketahui ada dalil yang mengubahnya.

f.        Saddudz-Dzari’ah
Menurut bahasa, arti Saddudz-Dzari’ah ialah menutup/menyumbat jalan. Bentuk jamaknya “Saddudz-Dzarai” yang berarti menutup/menyumbat semua jalan. Yang dimaksud “Dzari’ah” sendiri ialah, perkara yang lahiriahnya hukumnya mubah (boleh) tetepi membuka jalan kepada perbuatan yang dilarang.
Menurut Al-Qurthubi, seorang ulama dari Mazhab Maliki, perkara yang membuka jalan kepada perbuatan yang dilarang oleh agama, ada dua macam :
1.      Perkara yang pasti mendatangkan perbuatan yang dilarang.
2.      Perkara yang tidak pasti mendatangkan perbuatan yang dilarang. Dan yang tidak pasti mendatangkan perbuaatan yang dilarang ini ada tiga macam,
·         Perkara yang biasanya mendatangkan perbuatan yang dilarang.
·         Perkara yang biasanya tidak mendatangkan perbuatan yang dilarang.
·         Perkara yang sama kuat antara mendatangkan dan tidak mendatangkan perbuatan yang dilarang.


12.                         SEBAB-SEBAB PARA ULAMA BERBEDA PENDAPAT
a.      Terjadinya perbedaan pendapat tersebut sebagai akibat dari adanya kemerdekaan berfikir dalam islam.
b.      Adanya perbedaan tingkat pengetahuan para ulama tentang agama islam, atau adanya ketidak samaan tingkat keahlian mereka tentang ilmu-ilmu keislaman.
c.       Adanya perbedaan sistem, metode atau dasar ijtihad yang dipakai para ulama.
d.      Adanya nas Al-Qur’an dan Hadis Nabi yang kadang-kadang dapat difaham dengan lebih dari satu fahaman.


13.                         PESAN IMAM-IMAM MAZHAB
IMAM ABU HANIFAH
Tentang taqlid :
·         “haram bagi orang tidak mengetahui dalilku memberi fatwa dengan perkataanku”
·         “ini hanya sekedar pendapat Abu Hanifah. Maka siapa saja yang datang kepadaku dengan pendapat (hasil ijtihad) yang lebih baik dari pendapatku, niscaya akan kuterima”
               Tentang bid’ah :
·         “jauhilah perbuatan bid’ah, mencari-cari bid’ah dan melampaui batas dalam urusan agama. Dan hendaklah kamu mengikuti perkara-perkara yang permulaan sekali” ( yakni mengikuti pimpinan Nabi Muhammad SAW ).
·         “Hendaklah kamu mengikuti sunnah nabi dan menjauhi semua perkara baru, sebab perkara yang baru dalam urusan ibadah adalah Bid’ah”.
             IMAM MALIK BIN ANAS
                 Tentang taqlid :
·         “telitilah ijtihadku ini karena hal itu mengenai perkara agama ( yang tidak boleh diterima begitu saja ). Tidak seorang manusia pun kecuali perkataannya dapat diterima dan dapat pula ditolak, kecuali manusia yang dimakamkan dalam kuburan ini”. ( yakni Rasulullah, yang sabdanya harus diterima. Tidak boleh tidak ).
·         “saya hanyalah manusia biasa yang mungkin salah dan mungkin benar. Karena itu telitilah pendapatku. Setiap pendapatku itu sesuai dengan kitab dan sunnah tinggalkanlah”.

                  Tentang bid’ah :
·         “barang siapa yang mengada-adakan amalan baru dalam urusan agama Islam dengan anggapan bahwa amalan itu baik, maka sesungguhnya samalah artinya ia menuduh Nabi Muhammad SAW telah menyembunyikan risalahnya.

             IMAM SYAFI’I
                  Tentang taqlid :
·         “jika kamu berpendapat bahwa perkataanku menyalahi sabda Rasulullah, maka amalkan sabda Rasulullah dan lemparkan saja perkataanku ke luar pagar”.
·         “berkata syafi’i kepada Rabik, muridnya : “janganlah engkau bertaqlid kepadaku tentang tiap apa yang ku katakan, melainkan engkau sendiri harus menyelidiki perkara itu, karena hal itu mengenai agama”.
·         “jika suatu hadis ternyata sahih, maka itulah mazhabku”.
·         “tidak halal bertaqlid kepada seseorang pun selain kepada Nabi SAW”.

                  Tentang bid’ah :
·         “bid’ah itu ada dua macam. Pertama bid’ah yang sesat, yaitu perkara yang diada-adakan dengan menyalahi Al-Qur’an atau sunnah atau ijmak atau atsar (keterangan para sahabat). Kedua,bid’ah yang tidak sesat, yaitu perkara yang diada-adakan dengan dengan tidak menyalahi sedikit pun dari semuanya itu”.

                   Tentang lain-lain :
·         “ilmu itu malu kepada orang yang tidak mempunyai perasaan malu kepadanya”. (maksudnya, ilmu akan tetap jauh dari orang yang tidak suka menuntut ilmu).
·         “ilmu adalah pemimpin bagi amal , dan amal adalah pengikutnya. Juga amal adalah buahnya. Amal yang sedikit beserta ilmu lebih utama dari pada amal amal yang banyak beserta kebodohan”.
·         “siapa rela terhadap apa yang telah ada, tentulah lenyap dari orang itu sifat nista”. ( yakni, siapa telah memiliki sifat qana’ah, dia akan terhindar dari tamak dan rakus ).
·         “bersihkanlah pendengaranmu dari mendengarkan perkataan yang keji, karena sesungguhnya yang mendengarkan perkataan yang keji bersekutu dengan yang mengucapkannya”.

             IMAM AHMAD BIN HAMDAL
                  Tentang taqlid :
·         “selidikilah perkara agamamu, karena sesungguhnya taqlid kepada orang yang tidak ma’shum itu tercela dan membuta-tukikan hati nurani”. ( orang yang ma’shum atau terjaga dari kesalahan hanyalah Nabi atau Rasul ).
·         “tercela sekali orang yang telah diberi pelita untuk dijadikan penerangan, tetapi ia sendiri memadamkan pelita itu lalu ia berjalan pada orang lain”. (maksudnya, orang yang mematikan atau membekukan akalnya lalu taqlid kepada pendapat orang lain).
·         “janganlah engkau taqlid kepadaku. Jangan pula taqlid kepada Malik, jangan kepada Auza’i, jangan kepada Nakha’i dan jangan pula taqlid kepada kepada selain mereka. Ambillah hukum langsung dari mana mereka mengambil”. (Yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasul).

                  Tentang bid’ah :
·         “Pokok pangkal Sunnah itu bagiku ialah memegang dan mengikuti dengan kuat apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi, dan meninggalkan perbuatan bid’ah, karena tiap-tiap bid’ah dalam perkara agama itu sesat).
Dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan pesan-pesan tersebut di atas, para imam pendiri mazhab mempunyai pendirian yang sama mengenai dua hal :
Pertama, mereka melarang siapapun mengikuti pendapat mereka secara taqlid. Taqlid adalah haram. Kata Abu Hanifah, sedang syafi’i mengatakan tidak halal. Taqlid sangat tercela, kata Ahmad bin hamdal, dan membuta-tulikan hati nurani. Satu-satunya taqlid yang dapat di benarkan ialah taqlid kepada Nabi, kata Imam Malik. Kedua, mereka melarang siapa pun mengerjakan  bid’ah dalam perkara agama. Menurut Imam malik, mengerjakan bid’ah berarti menuduh Nabi Muhammad menyembunyikan risalahnya, padahal Allah sendiri telah telah mengakui kesempurnaan Islam. Dan menurut Syafi’i, mengadakan bid’ah berarti membuat agama sendiri. Memang menurut Syafi’i ada juga juga bid’ah yang tidak sesat, tetapi bid’ah yang demikian hanya khusus dalam perkara keduniaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar