BAB II
SUMBER NORMA DAN HUKUM ISLAM
1. KITAB SUCI AL-QUR’AN
a. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah
nama yang khas yang sengaja diberi kan oleh Allah kepada kitab sucinya.
Al-Qur’an menurut bahasa mempunyai arti
yang bermacam-macam. Salah satunya ,menurut pendapat yang lebih kuat, Al-Qur’an
berarti bacaan atau yang di baca.
b. Kandungan Al-Qur’an
Al-Qur’an terdiri
dari 114 surat, 6236 ayat, 74437 kalimat, dan 325345 huruf.
Apa yang di
kandung di dalam al-Qur’an , diterangkan sendiri oleh al-Qur’an melalui salah
satu ayatnya :
“ Dan tidaklah
ada satu pun dari binatang di bumi dan tidak (pula) satupun yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan adalah mereka itu umat-umat seperti kamu. Tidak ada
yang kami luputkan di dalam Al-kitab sesuatu pun. Kemudian pada tuhan merekalah
mereka akan dikumpulkan”( AL-An’am 38).
c. Fungsi Al-Qur’an
1. Al-Qur’an merupakan petunjuk
bagi orang bertakwa,bahwa petunjuk bagi manusi secara keseluruhan, yakni
petunjuk jalan lurus, petunjuk kebeneran yang mengeluarkan manusia dari
kegelapan kepada cahaya yang terang.
2. Al-Qur’an adalah pembeda atau
pemisah antara yang haq dan yang bathil atau antara yang benar dan yang salah
3. Al-Qur’an berfungsi
peringatan bagi orang-orang yang bertakwa.
4. Al-Qur’an adalah obat atau
penawar bagi penyakit kejiwaan.
5. Al-Qur’an merupakan
pengajaran/nasehat (mau’idhah) bagi manusia.
6. Al-Qur’an korektor bagi
kitab-kitab suci yang turun sebelumnya atau korektor bagi penyelewengan yang
dilakukan oleh manusia dalam agama mereka. Maka celaka besarlah orang- orang
yang menulis al-kitab dengan tangannya sendiri.
7. Al-Qur’an merupakan bahan
renungan atau pemikiran bagi orang-orang yang mau berfikir untuk memdapat
pelajaran yang berharga.
8. Al-Qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan yang
sangat menarik untuk dikaji dan dipelajari sepanjang masa.
9. Al-Qur’an juga mukjizat nabi
Muhammad SAW, yaitu mukjizat yang paling besar dari sekalian mukjizat lain yang
pernah ada.
d. Keaslian Al-Qur’an
Pertama, karena
Al-Qur’an mempunyai sejarah penulisan yang gemilang.
Kedua, selain
Al-Qur’an ditulis juga dihafalkan, baik oleh nabi muhammad maupun oleh sahabat
dan umat islam pada umumnya.
Ketiga, Al-Qur’an
tidak kehilangan bahasa aslinya yaitu basa arab, dan tetap terjaga dengan baik
dalam bahasa aslinya itu sampai sekarang.
2. KEWAHYUAN AL-QUR’AN
Wahyu adalah dasar terpenting dalam agama.
Dan percaya kepada adanya wahyu merupakan modal utama bagi seseorang dalam
beragama. Wahyu menurut bahasa berarti bisikan halus yang dibisikkan ke dalam
telinga, sehingga yang dibisiki itu faham apa yang dimaksud oleh yang
membisikkannya.
Ada dua bukti sangat penting yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an
itu wahyu dari Allah :
Pertama, Al-Qur’an itu sendiri yang merupakan mukjizat Nabi
Muhammad, yang baik kehebatan isi maupun keindahan bahasanya tidak dapat di
tiru oleh siapapun.
Kedua, informasi dari Allah sendiri yang menerangkan
kenyataan tidak adanya saling pertentangan dalam Al-Qur’an antara ayat satu
dengan ayat yang lain, yang hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu
yang berasal dari Allah SWT.
3. MUKJIZAT AL-QUR’AN
Menurut bahasa
arti mukjizat ialah sesuatu yang luar biasa yang tida kuasa manusia menbuatnya
karena hal itu di luar kesanggupannya. Bahkan mukjizat Al-Qur’an adalah
mukjizat yang terbesar dari sekalian mukjizat yang pernah ada dan dimiliki oleh
Nabi atau rasul yang mana pun. Pada dasarnya kemukjizatan Al-Qur’an terletak
pada dua segi, yaitu segi isi atau kandungan Al-Qur’an dan segi bahasa
Al-Qur’an.
a.
Kemukjizatan isi Al-Qur’an
Pertama, telah
sempurnanya isi yang di kandung oleh Al-Qur’an , karena Al-Qur’an juga
membawakan pokok-pokok ajaran kitab-kitab suci lama yaitu taurat, zabur, dan
injil dan kesempurnaan Al-Qur’an ini telah dinyatakan sendiri oleh Allah dalam
surat Al-Maidah ayat 3.
Kedua, Al-Qur’an
dengan isi yang sempurna itu bersifat universal dan cocok untuk tiap ruang dan
waktu karena hukum-hukum dalam Al-Qur’an dibawakan dalam garis-garis besarnya
saja (Qaidah-qaidah kulliyah) yang
berdasarkan dua prinsip untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia
(jalbul-Mashalih) dan untuk menolakkerusakan (Dar-ul Mafasid).
Ketiga, selain
isi Al-Qur’an bersifat universal dan sesuai untuk tiap ruang dan waktu, isi
Al-Qur’an merupakan petunjuk (hidayah) bagi manusia dalam kehidupannya menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Keempat, di
antara isi Al-Qur’an ada yang berupa ramalan-ramalan tentang
peristiwa-peristiwa yang belum terjadi, tetapi kemudian betul terjadi dalam
sejarah sebagai yang diramalkan.
b.
Kemukjizatan Bahasa Al-Qur’ar
Pertama, mukjizat
Al-Qur’an merupakan kesatuan dengan keutusan Nabi Muhammad, bahkan merupakan
hakekat dan intisari dari kerasulan beliau.
Kedua, mukjizat
Al-Qur’a bersifat maknawiyah, rasional dan ilmiah sehingga cocok dengan
martabat manusia yang merupakan makhluk istimewa karena dimilikinya akal.
Ketiga, mukjizat
Al-Qur’an membawa pengaruh maha dahsyat, jauh lebih dahsyat dari pada
pengaruh-pengaruh semua mukjizat yang lain.
Keempat, mukjizat
Al-Qur’an kekal abadi, tidak lenyap dengan meninggal atau ketiadaannya Nabi
Muhammad SAW, sedang mukjizat yang lain tidak kekal abadi dan lenyap dengan
meninggalnya nabi yang bersangkutan.
4. HADIS/SUNNAH RASULULLAH SAW
a.
Pengertian hadis/sunnah
Hadis menurut
basanya :
-jadid (baru),
lawan qadim (dahulu)
-qarib atau
dekat, belum lama terjadi
- kabar atau
berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
seseorang yang lain (Ma yutahaddasu bihi wa yunqalu).
Sunnah menurut
bahasa :
-jalan yang
terpuji
-jalan atau cara
yang dibiasakan
-kebalikan dari
bid’ah
-apa yang
diperbuat oleh sahabat, baik ada dasarnya dalam Qur’an atau hadis atau pun
tidak.
Sunnah menurut
arti istilah, sebagaimana yang dirumuskan oleh ulama ahli hadis ialah segala
yang di pindahkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan,perbuatan,maupun
taqrir,pengajaran,sifat, kelakuan dan perjalanan hidup, dan baik yang demikian
itu terjadi sebelum masa kenabian atau pun sesudahnya. Sunnah dalam pengertian
yang demikian inilah, menurut jumhur ulama ahli Hadis yang merupakan muradif
dari Hadis.
b. Kedudukan Hadis/sunnah
Hadis/sunnah Nabi
Muhammad menempati kedudukan nomor dua sebagai sumber norma dan hukum islam,
sesudah AL-Qur’an.
c. Fungsi Hadis/Sunnah terhadap
Al-Qur’an
Fungsi
hadis/sunnah terhadap Al-Qur’an ialah Lil-Bayan atau untuk memberi penjelasan.
Menurut pendapat Asy-Syafi’i, ada lima macam bayan atau penjelasan yang
diberikan oleh Hadis/Sunnah kepada Al-Qur’an yaitu :
o Bayan Tafshil, penjelasan
untuk menjelaskan ayat-ayat mujmal atau ayat-ayat yang sangat ringkas
petunjuknya.
o Bayan takhshish, penjelasan
untuk menentukan sesuatu dari ayat yang sangat umu sifatnya.
o Bayan Ta’yin, penjelasan
untuk menentukan mana sesungguhnya yang di maksud dari dua atau tiga perkara
yang mungkin dimaksudkan.
o Bayan Tasyri, penjelasan yang
bersifat menetapkan suatu hukum yangtidak terdapat dalam Al-Qur’an (misalnya
hukum haramnya keledai kampung).
o Bayan nasakh, penjelasan
untuk menentukan mana yang mengganti dan mana yang diganti dari ayat-ayat yang
kelihatan seperti berlawanan.
5. SEJARAH PEMBUKUAN HADIS
Penulisan/pembukuan Hadis-hadis baru terjadi mulai awal abad
kedua hijriah, yaitu pada masa khalifah umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah
ke VIII dari dinasti Mu’awiyah, yang berkuasa tahun 99-101 H atau 717-720 M.
Beliau memprakarsai membukukan Hadi-hadis Nabi, antara lain dengan alasan :
a. Proses penulisan Al-Qur’an
sudah lama selesai, sehingga tidak perlu dikhawatirkan lagi terjadinya campur
aduk antara Hadis dan ayat-ayat Al-Qur’an.
b. Adanya kekhawatiran akan
lenyapnya Hadis-hadis Nabi dari kalangan umat islam, berhubung para perawi
Hadis yang menyimpan Hadis-hadis dalam ingatannya, makin banyak yang meninggal
dunia.
6. MACAM-MACAM HADIS/SUNNAH
a. Dilihat dari segi bentuk :
·
Qauliyah, yaitu hadis yang berbentuk/berupa perkataan Nabi
·
Fi’liyah, Hadis perbuatan Nabi
·
Taqririyah, Hadis yang berupa perbuatan sahabat yang disaksikan
atau didengar oleh Nabi dan Nabi tidak menegur atau menyalahkannya.
b. Dilihat dari segi jumlah
orang yang menyampaikan atau meriwayatkannya :
·
Mutawatir, Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang
tidak terhitung jumlahnya yang karena banyaknya ini, menurut akal, tidak
mungkin mereka bersepakat untuk dusta.
·
Masyhur, Hadis yang perawi lapis pertamanya beberapa orang
sahabat atau lapis keduanya beberapa orang tabi’in. Sesudah itu tersebar luas
dinukilkan orang banyak yang tak dapat
disangka mereka sepakat untuk dusta.
·
Ahad, hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih, tetepi
tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke tingkat Masyhur.
c. Dilihat dari segi kualitasnya Hadis :
·
Shahih, Hadis yang bersambung-sambung sanad, diriwayatkan
oleh orang yang adil dan kuat ingatan, tidak terdapat padanya keganjilan
(syadz) dan cacat (illah).
·
Hasan, Hadis yang memenuhi persyaratan Hadis syahih kecuali
segi hafalan (ingatan) parawinya yang kurang baik.
·
Dha’if, hadis yang tidak didapati padanya syarat shahih dan
tidak pula ddidapati padanya syarat hasan.
·
Maudlu’, Hadis palsu yaitu Hadis yang di buat-buat oleh
seseorang dan dikatakan sebagai sabda atau perbuatan Nabi.
d. Dilihat dari segi diterima
atau tidaknya :
·
Maqbul, hadis yang diterima dan dapat dijadikan hujjah/alasan
dalam agama.
·
Mardut, hadis yang ditolak dan tidak boleh dijadikan alasan
dalam agama.
e. Dilihat dari segi siapa yang
berperan dalam berbuat atau bersabda dalam hadis :
·
Marfu’, jika hadis itu benar-benar merupakan perbuatan, sabda
atau taqrir Nabi.
·
Mauquf, jika hadis itu hanya merupakan perbuatan atau
kata-kata sahabat dan nabi tidak menyaksikan atau medengarkannya.
·
Maqthu’, jika hadis itu hanya merupakan perbuatan atau
kata-kata tabi’in.
7. IJTIHAD
a. Pengertian ijtihad
Dari segi bahasa
arti ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Mengerjakan
apa saja asalkan dilakukan dengan kesungguhan, adalah berijtihad namanya.
b. Pembagian Ijtihad
·
Ijtihad Fardi atau ijtihad individal, yaitu ijtihat yang
dilakukan oleh seorang mujtahid saja.
·
Ijtihad Jama’i atau ijtihad kolektif, ijtihad yang dilakukan
oleh sekelompok mujtahidin secara bersama.
·
Ototransplantasi yang donor dan resipiennya satu individu
hukumnya mubah (boleh).
·
Homo transplantasi
baik levingdonor maupun cadaver donor karena darurat menurut medis
hukumnya mubah.
·
Semua pencakokan yang membahayakan baik rohaniah maupun
jasmaniah seperti pencakokan kepala dan jantung hukumnya haram.
c. Kedudukan ijtihad
Disamping
Al-Qur’an dan hadis/sunnah Nabi, ijtihad juga merupakan dasar atau sumber norma
dan hukum islam, yakni dasar atau sumber ketiga. Dengan kedudukannya seperti
itu, dapat dikatan bahwa ijtihad adalah dasar atau sumber tambahan sesudah
Al-Qur’an dan hadis/sunnah Nabi.
8. LAPANGAN IJTIHAD
Ijtihad mempunyai lapangan tertentu. Di luar lapangan
tertentu ini, ijtihad tidak boleh dilakukan. Pada dasarnya, manakah yang
menjadi lapangan ijtihad, sudah ditunjukkan oleh pembagian ijtihad seperti yang
di kemukakan oleh Syekh Mahmud Syaltout.
Pertama, yang menjadi lapangan ijtihad ialah perkara-perkara
yang tidak ada atau tidak jelas
ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an atau Hadis Nabi.
Kedua, yang merupakn lapangan ijtihad pula ialah ayat-ayat
Al-Qur’an atau hadis-hadis nabi yang sebegitu jauh tidak begitu jelasmaksudnya.
Dan ketidak jelasannya mungkin disebabkan oleh makna yang dikandung lebih dari
satu sehingga perlu ditentukan (dengan jalan ijtihad) manakah diantara makna
ayat atau hadis yang bersangkutan.
9. PERANAN IJTIHAD
Menurut dialog Rasulullah dengan Mu’adz bin Jabal seperti
telah di sebutkan dimuka, diakui bahwa akal denan kegiatan ijtihadnya, menjadi
sumber norma dan hukum Islam nomor tiga sesudah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Yakni sebagai sumber pelengkap atau tambahan. Mengapa perlu sumber tambahan,
padahal telah di firmankan oleh Allah SWT dalam surat Al-maidah ayat 3, bahwa
islam telah lengkap dan sempurna ? Betul, islam telah sempurna, tetapi
kesempurnaan islam tidak terlepas dari peran sertanya akal dalam bentuk kegiatan
yang bernama ijtihad itu. Dengan kata lain, akal dengan ijtihadnya sebenarnya
termasuk unsur dalam islam itu sendiri, sehingga kesempurrnaan islam tidak
mungkin terpisah kan dari peran sertanya ijtihad.
10.
SYARAT-SYARAT IJTIHAD
a. Syarat-syarat umum :
·
Islam
·
Dewasa
·
Berakal sehat
·
Kuat daya tangkap dan ingatannya (IQ nya tinggi)
b. Syarat-syarat pokok :
·
Menguasai Al-Qur’an dan ilmu-ilmu Al-Qur’an, terutama
ayat-ayat hukumnya,asbabun-nuzulnya dan nasikh-mansukhnya.
·
Mengusai hadis dan ilmu-ilmu hadis .
·
Menguasai bahasa arab dan ilmu-ilmu bahasa arab seperti
Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan sebainya.
·
Menguasai ilmu Ushul Fiqh.
·
Memahami tujuan-tujuan pokok Syari’at islam.
·
Memahami Qawaid Kulliyah atau Qawaidul-Fiqhiyah.
c. Syarat-syarat pelengkap :
·
Mengetahui tidak adanya dalil yang qath’i tentang kasus yang
dihadapi.
·
Mengetahui masalah-masalah yang tercapai konsensus,
masalah-masalah yang masih khilafiah dan masalah-masalah yang belum ada
kepastian hukumnya.
·
Saleh dan takwa.
11.
BENTUK-BENTUK IJTIHAD
a. Ijmak
Ijmak menurut
bahasa berarti menghimpun, mengumpulkan atau bersatu dalam pendapat. Ijmak ada
dua macam :
1. Ijmak Sharih, yaitu ijmak
para ulama mujtahidin yang dinyatakan secara terang atau jelas, baik dengan
perkataan, tulisan atau pun perbuatan (Sharih =
jelas, terang). Contoh ijmak Sharih, ialah kesepakatan para sahabat Nabi
dalam pengangkatan Khalifah Abu Bakar.
2. Ijmak Sukuti, yaitu ijmak
atau kesepakatan pendapat di antara para ulama mujtahidin secara diam. Diam
disini dianggap menyetujui (Sukuti = diam). Hal ini terjadi, jika sebagian
ulama mujtahidin mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah, kemudian para ulama
mujtahidin yang lain diam tidak memberikan tanggapan apa-apa.
b. Qiyas
Menurut bahasa,
arti Qiyas ialah mengukur sesuatu menurut contoh yang lain, kemudian
menyamakannya. Dan menurut istilah yang disebut Qiyas ialah menetapkan hukum
suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an atau Sunnah
Nabi dengan jalan menyamakannya dengan masalah lain yang ada ketentuan hukumnya
dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, karena ada sebab yang menyamakan antara
keduanya. Qiyas ada bermacam-macam yaitu :
1. Qiyas Musawi, yaitu qiyas
yang niatnya mengharuskan adanya hukum, dan keadaan cabang sama dengan asal
untuk mendapatkan hukum.
2. Qiyas Aula, yaitu qiyas yang
niatnya mengharuskan adanya hukum dan keadaan cabang lebih utama mendapatkan
hukum tersebut dari pada asal.
3. Qiyas Dalalah, yaitu qiyas
yang niatnya menunjukkan adanya hukum, tetapi tidak mewajibkannya.
4. Qiyas Syibih, yaitu qiyas
yang cabangnya dapat disamakan/diserupakan kepada dua asal, tetapi kemudian
hanya disamakan/diserupakan kepada asal yang lebih banyak persamaannya dengan
cabang.
5. Qiyas Adwan, yaitu qiyas yang
cabangnya lebih rendah mendapatkan hukum daripada asalnya.
c. Istihsan
Menurut bahasa,
arti istihsan ialah menganggap baik suatu hal. Menurut istilah,arti istihsan (
sebagaimana dirumuskan dalam suatu defenisi ) ialah menjalankan keputusan yang
tidak didasarkan atas Qiyas, tetapi didasarkan atas kepentingan umum atau
kepentingan keadilan.
d. Mashlahah Mursalah
Mashlahah
Mursalah atau disebut juga Istishlah ialah kebaikan yang tidak
disinggung-singgung oleh Syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya,
tetapi jika dikerjakan akan membawa manfaat atau terhindar dari keburukan.
Contoh-contoh Mashlahah Mursalah :
1. Pengumpulan/penulisan
Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar.
2. Ketika islam masuk irak,
tanah-tanah pertanian negeri tersebut dibiarkan tetap berada di tangan
pemiliknya dengan dikenakan kewajiban membayar pajak, karena untuk menjaga
kebaikan umat islam.
3. Disyaratkannya keharusan
adanya surat kawin unuk sahnya gugatan dalam soal perkawinan, nafkah dan
warisan.
4. Dijadikannya Maulid Nabi
Muhammad, Israk Mikraj, Nuzulul Qur’an dan 1 Muharam sebagai hari-hari besar
Islam disamping hari besar Islam yang resmi Idul Fithri dan Idil Qurban.
5. Mengadakan rumah tahanan atau
lembaga pemasyarakatan untuk orang-orang terhukum.
6. Mencetak uang sebai alat
tukar-menukar.
e. Istish-hab
Istish-hab dari
segi bahasa, diambil dari perkataan
“Istishhabtu ma kaana fil-maadhi” yang artinya, “Saya membawa serta apa
yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang”. Menurut istilah ulama Ushul
Fiqh, Istish-hab ialah menjadikan hukum yang telah tetap pada masa lampau terus
berlaku sampai sekarang karena tidak diketahui ada dalil yang mengubahnya.
f.
Saddudz-Dzari’ah
Menurut bahasa,
arti Saddudz-Dzari’ah ialah menutup/menyumbat jalan. Bentuk jamaknya
“Saddudz-Dzarai” yang berarti menutup/menyumbat semua jalan. Yang dimaksud
“Dzari’ah” sendiri ialah, perkara yang lahiriahnya hukumnya mubah (boleh)
tetepi membuka jalan kepada perbuatan yang dilarang.
Menurut
Al-Qurthubi, seorang ulama dari Mazhab Maliki, perkara yang membuka jalan
kepada perbuatan yang dilarang oleh agama, ada dua macam :
1. Perkara yang pasti
mendatangkan perbuatan yang dilarang.
2. Perkara yang tidak pasti
mendatangkan perbuatan yang dilarang. Dan yang tidak pasti mendatangkan
perbuaatan yang dilarang ini ada tiga macam,
·
Perkara yang biasanya mendatangkan perbuatan yang dilarang.
·
Perkara yang biasanya tidak mendatangkan perbuatan yang
dilarang.
·
Perkara yang sama kuat antara mendatangkan dan tidak
mendatangkan perbuatan yang dilarang.
12.
SEBAB-SEBAB PARA ULAMA
BERBEDA PENDAPAT
a.
Terjadinya perbedaan pendapat tersebut sebagai akibat dari
adanya kemerdekaan berfikir dalam islam.
b.
Adanya perbedaan tingkat pengetahuan para ulama tentang agama
islam, atau adanya ketidak samaan tingkat keahlian mereka tentang ilmu-ilmu
keislaman.
c.
Adanya perbedaan sistem, metode atau dasar ijtihad yang
dipakai para ulama.
d.
Adanya nas Al-Qur’an dan Hadis Nabi yang kadang-kadang dapat
difaham dengan lebih dari satu fahaman.
13.
PESAN IMAM-IMAM MAZHAB
IMAM ABU HANIFAH
Tentang taqlid :
·
“haram bagi orang tidak mengetahui dalilku memberi fatwa
dengan perkataanku”
·
“ini hanya sekedar pendapat Abu Hanifah. Maka siapa saja yang
datang kepadaku dengan pendapat (hasil ijtihad) yang lebih baik dari
pendapatku, niscaya akan kuterima”
Tentang bid’ah :
·
“jauhilah perbuatan bid’ah, mencari-cari bid’ah dan melampaui
batas dalam urusan agama. Dan hendaklah kamu mengikuti perkara-perkara yang
permulaan sekali” ( yakni mengikuti pimpinan Nabi Muhammad SAW ).
·
“Hendaklah kamu mengikuti sunnah nabi dan menjauhi semua
perkara baru, sebab perkara yang baru dalam urusan ibadah adalah Bid’ah”.
IMAM MALIK BIN ANAS
Tentang taqlid :
·
“telitilah ijtihadku ini karena hal itu mengenai perkara
agama ( yang tidak boleh diterima begitu saja ). Tidak seorang manusia pun
kecuali perkataannya dapat diterima dan dapat pula ditolak, kecuali manusia
yang dimakamkan dalam kuburan ini”. ( yakni Rasulullah, yang sabdanya harus
diterima. Tidak boleh tidak ).
·
“saya hanyalah manusia biasa yang mungkin salah dan mungkin
benar. Karena itu telitilah pendapatku. Setiap pendapatku itu sesuai dengan
kitab dan sunnah tinggalkanlah”.
Tentang bid’ah :
·
“barang siapa yang mengada-adakan amalan baru dalam urusan
agama Islam dengan anggapan bahwa amalan itu baik, maka sesungguhnya samalah
artinya ia menuduh Nabi Muhammad SAW telah menyembunyikan risalahnya.
IMAM SYAFI’I
Tentang taqlid :
·
“jika kamu berpendapat bahwa perkataanku menyalahi sabda
Rasulullah, maka amalkan sabda Rasulullah dan lemparkan saja perkataanku ke
luar pagar”.
·
“berkata syafi’i kepada Rabik, muridnya : “janganlah engkau
bertaqlid kepadaku tentang tiap apa yang ku katakan, melainkan engkau sendiri
harus menyelidiki perkara itu, karena hal itu mengenai agama”.
·
“jika suatu hadis ternyata sahih, maka itulah mazhabku”.
·
“tidak halal bertaqlid kepada seseorang pun selain kepada
Nabi SAW”.
Tentang bid’ah :
·
“bid’ah itu ada dua macam. Pertama bid’ah yang sesat, yaitu
perkara yang diada-adakan dengan menyalahi Al-Qur’an atau sunnah atau ijmak
atau atsar (keterangan para sahabat). Kedua,bid’ah yang tidak sesat, yaitu
perkara yang diada-adakan dengan dengan tidak menyalahi sedikit pun dari
semuanya itu”.
Tentang lain-lain :
·
“ilmu itu malu kepada orang yang tidak mempunyai perasaan
malu kepadanya”. (maksudnya, ilmu akan tetap jauh dari orang yang tidak suka
menuntut ilmu).
·
“ilmu adalah pemimpin bagi amal , dan amal adalah
pengikutnya. Juga amal adalah buahnya. Amal yang sedikit beserta ilmu lebih
utama dari pada amal amal yang banyak beserta kebodohan”.
·
“siapa rela terhadap apa yang telah ada, tentulah lenyap dari
orang itu sifat nista”. ( yakni, siapa telah memiliki sifat qana’ah, dia akan
terhindar dari tamak dan rakus ).
·
“bersihkanlah pendengaranmu dari mendengarkan perkataan yang
keji, karena sesungguhnya yang mendengarkan perkataan yang keji bersekutu
dengan yang mengucapkannya”.
IMAM AHMAD BIN HAMDAL
Tentang taqlid :
·
“selidikilah perkara agamamu, karena sesungguhnya taqlid
kepada orang yang tidak ma’shum itu tercela dan membuta-tukikan hati nurani”. (
orang yang ma’shum atau terjaga dari kesalahan hanyalah Nabi atau Rasul ).
·
“tercela sekali orang yang telah diberi pelita untuk
dijadikan penerangan, tetapi ia sendiri memadamkan pelita itu lalu ia berjalan
pada orang lain”. (maksudnya, orang yang mematikan atau membekukan akalnya lalu
taqlid kepada pendapat orang lain).
·
“janganlah engkau taqlid kepadaku. Jangan pula taqlid kepada
Malik, jangan kepada Auza’i, jangan kepada Nakha’i dan jangan pula taqlid
kepada kepada selain mereka. Ambillah hukum langsung dari mana mereka
mengambil”. (Yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasul).
Tentang bid’ah :
·
“Pokok pangkal Sunnah itu bagiku ialah memegang dan mengikuti
dengan kuat apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi, dan meninggalkan
perbuatan bid’ah, karena tiap-tiap bid’ah dalam perkara agama itu sesat).
Dapat
disimpulkan, bahwa berdasarkan pesan-pesan tersebut di atas, para imam pendiri
mazhab mempunyai pendirian yang sama mengenai dua hal :
Pertama, mereka melarang
siapapun mengikuti pendapat mereka secara taqlid. Taqlid adalah haram. Kata Abu
Hanifah, sedang syafi’i mengatakan tidak halal. Taqlid sangat tercela, kata
Ahmad bin hamdal, dan membuta-tulikan hati nurani. Satu-satunya taqlid yang
dapat di benarkan ialah taqlid kepada Nabi, kata Imam Malik. Kedua, mereka
melarang siapa pun mengerjakan bid’ah
dalam perkara agama. Menurut Imam malik, mengerjakan bid’ah berarti menuduh
Nabi Muhammad menyembunyikan risalahnya, padahal Allah sendiri telah telah mengakui
kesempurnaan Islam. Dan menurut Syafi’i, mengadakan bid’ah berarti membuat
agama sendiri. Memang menurut Syafi’i ada juga juga bid’ah yang tidak sesat,
tetapi bid’ah yang demikian hanya khusus dalam perkara keduniaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar